Jakarta – Seorang akademisi Dr Bintan Humeira MSi baru saja mempertahankan disertasinya, mengungkapkan otoritas keagamaan perempuan muslim (muslimah) di ranah online (daring) yang dimediasi media sosial (medsos) tak terlepas dari praktik sosial di ruang offline (luring).
“Hal ini karena logika medsos yang memosisikan tindakan follower menjadi penting dalam memelihara eksistensi subjek. Norma medsos dengan praktik like, comment dan share menjadi realitas subjektif yang dinternalisasi oleh subjek dan mengonstruksi subjek sebagai sosok populer sekaligus menjadi ‘rujukan’ baru dalam praktik keagamaan,” kata Dr Bintan Humeira MSi dalam keterangan tertulis, Senin.
Intan mengemukakan hal itu setelah berhasil mempertahankan penelitian disertasinya berjudul “Konstruksi Otoritas Keagamaan Perempuan Muslim di Ranah Online” dalam sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) secara daring, Senin, yang diketuai oleh Julian Aldrin Pasha MA PhD.
Ia mengatakan subjek penelitian ini adalah perempuan biasa yang kemudian menggunakan ruang medsos seperti Facebook yang kini memiliki follower ratusan ribu. Padahal subjek bukanlah perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan agama seperti halnya pendakwah (ustazah).
“Namun, kemudian oleh para pengikutnya inilah subjek ‘dikukuhkan’ memiliki otoritas keagamaan layaknya para pendakwah di ruang luring,” ujar pengajar di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Dalam riset ini, ia juga menemukan justru aktor dominan yang mempengaruhi konstruksi keagamaan subjek adalah suami. Suami bertindak sebagai significant others dalam konstruksi realitas subjek baik dalam momen internalisasi maupun ekternalisasi subjek.
Oleh karena itu, ia menyimpulkan realitas objektif yang dimapankan melalui habitualisasi subjek di laman medsos yang diunggah berulang merupakan representasi dari realitas suami.
“Misalnya, sebelum mengunggah status, subjek selalu mendiskusikan terlebih dahulu, apakah status yang diunggah itu pantas atau tidak pantas terhadap para pembacanya. Nah, ukuran pantas tidak pantas itu, dari sudut pandang suaminya,” kata Bintan.
Fenomena ini, kata dia, dibedah dengan menggunakan teori konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmaan, dan mengambil pemikiran tentang konstruksi realitas sosial termediasi Couldry dan Hepp (2017).
Intan melakukan penelitian sejak 2018-2021 dengan menggunakan wawancara mendalam, dipadukan dengan studi dokumen dan pengamatan terlibat di ruang daring.
Ia mengakui penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal seleksi kasus yang sulit dilakukan secara komprehensif, karena tidak mudah memperoleh data akun perempuan yang aktif mengunggah konten agama di medsos, sehingga pilihan atas akun dilakukan secara subjektif dengan pemetaan akun secara terbatas.
Selain itu, kata dia, penelitian ini memiliki keterbatasan dalam eksplorasi praktik ekonomi yang berlangsung dalam praktik sosial subjek penelitian, sehingga peneliti memasukkan keterbatasan ini sebagai rekomendasi dalam penelitian selanjutnya. (Ant)