Jakarta – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat.
Menurutnya, sejak Indonesia merdeka sampai hari ini belum ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan, pelestarian, penghormatan terhadap masyarakat adat.
Padahal, pasal-pasal dalam konstitusi secara tegas sudah mengatur keberadaan Masyarakat Hukum Adat dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
“Dalam kerangka itulah Kementerian HAM konsisten mendukung percepatan pengesahan undang-undang masyarakat adat yang berisikan penghormatan terhadap nilai-nilai atau dijiwai disemangati oleh nilai-nilai hak asasi manusia saya kira itu sikap dari Kementerian Hak Asasi Manusia,” kata Pigai dalam Konferensi Pers, Selasa (7/5/2025) lalu.
Pigai menyebut RUU yang disahkan harus bersifat substantif seperti memenuhi standar-standar nilai HAM dan penghormatan terhadap nilai masyarakat adat.
“Saya kira itu yang penting konten isi yang berkualitas dijiwai disemangati dan juga melestarikan kondisi masyarakat adat yang ada tanpa mengurangi nilai apapun, itu yang penting,” katanya.
Pigai menyebut pihaknya pada awal Juni mendatang akan menggelar diskusi kelompok terpumpun (FGD) dengan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat. Koalisi tersebut terdiri dari sekitar 47 organisasi yang mengadvokasi, membela, dan mendampingi masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Setelah itu, Menteri HAM akan menyurati DPR RI untuk percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dia meyakini pengesahan tidak membutuhkan waktu lama, terlebih mengingat RUU tersebut kembali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini.
“2025 ini kemungkinan akan disahkan, tetapi undang-undang yang disahkan itu harus substantif,” katanya.
Pigai yakin DPR tidak memiliki kesulitan dalam mengesahkan RUU tentang Masyarakat Adat.
Dalam hal investasi, Pigai menegaskan ada delapan kriteria bagi perusahaan yang berinvestasi di wilayah adat. Salah satu prinsip utamanya adalah right to know.
“Karena di dalam konteks pembangunan right to know itu adalah atau hak partisipasi masyarakat itu adalah aspek yang sangat penting dalam human rights,” katanya,
Pigai turut mengingatkan agar perusahaan memastikan sejumlah hal diantaranya memastikan adanya persetujuan dari masyarakat adat; pelibatan aktif masyarakat sebagai pengelola usaha; pemberdayaan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja; status tanah yang clean and clear.
Keuntungan yang adil bagi negara, masyarakat, dan perusahaan; tidak tergesernya nilai budaya dan tatanan adat; perlindungan dan pelestarian adat; dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan.
Masyarakat Adat Minta Kementerian HAM Kawal RUU
Perwakilan dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Abdon Nababan mengatakan, Kementerian HAM merupakan rumah bagi masyarakat adat.
“Karena itu tadi kami minta supaya kementeri supaya RUU Masyarakat Adat ini dikawal betul di dalam pemerintahan Pak Prabowo lewat Menteri HAM,” katanya, Rabu (7/5/2025).
Ia juga meminta agar Kementrian HAM berperan aktif mengawal proses pembahasan RUU Masyarakat Adat yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
“Karena memang ini janji konstitusi dan Undang-Undang Dasar kita tahun 1945 sekarang sudah 78 tahun belum ada Undang-Undang yang mengoperasionalkan pasal ini,” ungkapnya.
Abdon menambahkan dalam pertemuan tersebut, juga dibahas mengenai hak-hak masyarakat adat. Hal itu disampaikan karena banyaknya konflik yang terjadi dengan rencana investasi di daerah.
“Karena hak-hak Masyarakat Adat ini tidak teradministrasikan dengan baik dan benar sehingga menimbulkan konflik ketika ada investasi,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa masyarakat adat tidak menolak investasi, namun menolak investasi yang merampas hak-hak adat.
“Kita coba dorong supaya kepastian berusaha itu berjalan bersama dengan kepastian atas hak-hak Masyarakat Adat sehingga antara apa yang direncanakan oleh pemerintah dengan apa yang diinginkan oleh Masyarakat Adat bisa dipertemukan,” jelasnya.