PASAMAN BARAT – Perjuangan panjang masyarakat keturunan repatrian Suriname di Nagari Tongar, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, kembali mencuat ke permukaan. Setelah puluhan tahun menunggu keadilan atas tanah yang mereka garap sejak tahun 1954, kini harapan baru muncul lewat pendampingan dari DPW LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) yang turun langsung membela nasib warga kecil.
Persoalan ini bermula dari dugaan penyerobotan lahan transmigrasi oleh perusahaan perkebunan PT Tunas Rimba Raya (TRR). Warga menilai perusahaan tersebut telah mengambil alih lahan yang sejak awal merupakan hak milik masyarakat repatrian yang direlokasi dari Suriname — kelompok keturunan Indonesia yang pada masa lalu dibawa kembali ke tanah air melalui program pemerintah.
Menurut pengakuan warga, lahan seluas kurang lebih 1.500 hektar yang diberikan kepada mereka dalam program transmigrasi kini hanya tersisa sekitar 600 hektar. Sisanya, sekitar 900 hektar, telah beralih menjadi kawasan perkebunan yang dikuasai PT Tunas Rimba Raya. Padahal, sejak awal program itu dijalankan, setiap kepala keluarga dijanjikan 5 hektar lahan untuk tempat tinggal dan bercocok tanam.
DPW LIRA Turun Tangan: Mandat untuk Perjuangan
Melihat ketimpangan yang terjadi, DPW LIRA resmi memberikan mandat kepada Abdulkhadir alias Kadeng, seorang aktivis sosial asal Bengkulu sekaligus tokoh masyarakat yang dikenal vokal memperjuangkan hak rakyat kecil. Kadeng dipercaya untuk mengadvokasi kasus ini hingga ke jalur hukum, bahkan membawa laporan langsung ke Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, serta lembaga-lembaga negara di Jakarta.
“Awalnya lahan transmigrasi ini berjalan baik. Warga sudah punya lahan masing-masing dan mulai menanam. Namun setelah PT Tunas Rimba Raya masuk dengan izin prinsip menanam kakao, faktanya di lapangan justru berganti ke ubi kayu, lalu sawit. Dari situlah penyerobotan mulai terjadi,” jelas Kadeng kepada awak media.
Kadeng menegaskan, perubahan izin dan praktik lapangan yang tidak sesuai itu menjadi titik awal konflik agraria panjang antara warga dan pihak perusahaan.
“Sekarang warga hanya punya sebidang tanah rumah saja. Lahan kebun yang dulu jadi sumber penghidupan mereka, sudah habis diambil alih. Ini jelas pelanggaran hak rakyat,” tegasnya.
Dugaan Keterlibatan Oknum dan Diamnya Pemerintah Daerah
Lebih jauh, Kadeng menyoroti lemahnya respons dari pemerintah daerah. Ia menilai Pemkab Pasaman Barat terkesan tidak serius menangani konflik ini. Bahkan, ada dugaan keterlibatan sejumlah oknum pejabat daerah dan pusat yang justru ikut memiliki sertifikat hak milik (SHM) di atas lahan transmigrasi warga.
“Sudah puluhan tahun masyarakat menunggu keadilan. Tapi solusi tak kunjung datang. Kami menduga ada pejabat yang ikut menikmati lahan yang seharusnya milik warga transmigran,” ujarnya.
Kondisi ini memperlihatkan betapa kompleksnya persoalan agraria di daerah, di mana warga kecil sering kali kalah suara di hadapan kekuatan modal dan kekuasaan. Konflik semacam ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga tentang martabat dan hak hidup masyarakat yang telah lama menjadi bagian dari sejarah pembangunan nasional.
Langkah ke Tingkat Nasional: Seruan untuk Presiden Prabowo
Dengan membawa semangat perjuangan masyarakat kecil, Kadeng bersama DPW LIRA Bengkulu berencana berangkat ke Jakarta untuk menyampaikan laporan resmi kepada Presiden Prabowo Subianto, serta beberapa lembaga negara seperti Kementerian ATR/BPN, Komnas HAM, dan Kementerian Desa dan Transmigrasi.
“Kami ingin Presiden tahu kondisi sebenarnya di lapangan. Warga Tongar bukan menuntut lebih — mereka hanya ingin haknya dikembalikan. Kami berharap Pak Prabowo merespons cepat dan berpihak pada rakyat kecil,” tutur Kadeng dengan nada penuh harap.
LIRA: Mengawal Keadilan Rakyat
Sementara itu, DPW LIRA menegaskan bahwa langkah pendampingan terhadap masyarakat Suriname-Tongar ini merupakan bagian dari misi utama organisasi: menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan publik dan melindungi hak-hak rakyat dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Ketua DPW LIRA menyampaikan, “Kami tidak akan mundur. Perjuangan ini bukan hanya soal lahan, tapi soal keadilan dan kesejahteraan rakyat kecil yang selama ini diabaikan.”
Masyarakat Pasaman Barat kini menaruh harapan besar agar perjuangan bersama LIRA ini membuka jalan menuju penyelesaian yang adil dan transparan. Bagi mereka, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan simbol identitas dan sejarah panjang perjuangan repatrian Suriname yang berusaha membangun kehidupan baru di tanah leluhurnya.
Harapan terakhir kini tertuju pada Presiden Prabowo Subianto. Akankah suara rakyat kecil dari Tongar akhirnya terdengar di Istana?
Perjuangan mereka mungkin panjang, tapi keyakinan untuk menegakkan keadilan belum pernah padam. (**)