BANGKA – Wacana larangan ekpor timah batangan jadi pembahasan serius pemerintah saat ini.
Selain soal larangan ekspor timah, hal lain yang tengah dibahas adalah soal hilirisasi timah.
Hilirisasi akan memberikan nilai tambah dari produk timah dari yang selama ini sekadar diekspor dalam bentuk batangan.
“Sekali lagi saya sampaikan rencana pe larangan ekspor timah yang paling serius kita lakukan, pemikiran dalam, semua aspek kita pertimbangkan, dan semua pihak kita libatkan diskusi,” kata Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin kepada Bangkapos.com, belum lama ini.
Ridwan Djamaluddin yang juga Penjabat Gubernur Bangka Belitung, mengatakan pihaknya sudah menyampaikan laporan hasil kajian terkait wacana larangan ekspor timah dan menggantikannya dengan hilirasi kepada menteri, bahkan sudah dilaporkan ke Presiden.
“Kajian sudah kita laporkan kepada para menteri dan sepengetahuan saya menteri sudah laporkan ke Presiden,” kata Ridwan Djamaluddin.
Disinggung soal Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya yang menolak rencana larangan ekspor timah, Ridwan menjawab akan melakukan diskusi lagi.
Dia mengungkapkan bahwa larangan ekspor ini akan membuat Indonesia naik kelas.
“Kita diskusi lagi kalau kurang setuju, tapi ini kan pemikiran berbagai pihak juga, artinya stop ekspor itu menujukan Indonesia akan naik kelas, dari negara ekstraktif ke negara industri, kita jangan kaget-kaget, nanti kita disusul terus oleh negara lain,” kata Ridwan.
Ridwan Djamaluddin mengatakan hasil kajian yang disampaikan Pokja Hilirisasi Timah itu terkait skenario terhadap kebijakan hilirisasi timah.
“Secara umum kita mengusulkan siap hilirisasi tapi kalau bisa bertahap, yang kedua bertahap dan tidak larangan nol logamnya. Akan dibuat skenario, bagaimana kita melaksanakan kewajiban hilirisasi, tetapi tetap ada ruang untuk kita menyiapkan diri,” katanya.
Ridwan mengatakan pengusaha membutuhkan waktu sekitar 23 bulan dengan nilai investasi Rp500 miliar untuk membangun industri hilirisasi.
“Hasil hitungan teknisnya begitu, untuk bangun pabrik 23 bulan sedrhanya 2 tahun, investasi yang dibutuhkan sekitar 500 miliar rupiah, tidak raksasa amat, masih bisa dijangkau,” katanya.
Sebelumnya dalam membuka kegiatan seminar tersebut, Ridwan Djamaludin mengatakan, hilirisasi mineral merupakan proses Indonesia berubah dari industri ekstraktif menjadi lebih maju seperti pengolahan, manufaktur, dan lain-lain.
Tentunya, ada tantangan dalam proses hilirisasi tersebut, adanya kebiasaan lama dan zona nyaman yang telah bertahan selama puluhan tahun.
“Sebetulnya saya tidak melihat ini atas arahan pimpinan saja, tapi lebih atas kesadaran kita bahwa hakekatnya sumberdaya alam itu kan jumlahnya terbatas,” kata Ridwan Djamaluddin.
Sisi lain, Ridwan meyakini juga bahwa Indonesia harus naik kelas dan tidak boleh terus menerus berada di level paling bawah, yakni industri ekstraktif saja.
“Sehingga, semangat hilirisasi itu adalah upaya untuk ke sana, meningkatkan nilai manfaat, tidak hanya bagi generasi masa kini, tapi juga bagi generasi yang akan datang,” katanya.
Di samping itu, Ridwan juga berharap sebab dari hilirisasi tersebut ada upaya-upaya untuk membuka lapangan pekerjaan dan mendirikan industri baru.
Saat ini iklim berusaha di sektor timah Indonesia terguncang setelah beberapa wacana tentang pengaturan tata kelola per timahan yang akan dikeluarkan pemerintah.
Pengusaha mendukung langkah itu, namun butuh waktu yang lebih untuk menyiapkan industri hilirisasi.
Isu penghentian ekspor ingot dan hilirisasi menjadi topik dalam seminar yang digelar oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Sabtu (18/3/2023) di Novotel Bangka.
Harwendro Adityo Dewanto satu di antara pembicara dalam seminar itu mengungkapkan kondisi bisnis timah Indonesia saat ini.
Ia mengungkapkan ketidakstabilan bisnis per timahan di Bangka Belitung.
“Nah yang teman-teman AETI sering pusing kepala, deg-degan sebagai pelaku usaha, karena regulasi pemerintah berubah-ubah. Dikatakan ada moratorium, belum selesai, ada hilirirsasi, belum selesai, ada mineral strategis nasional,” katanya.
Menurut Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) itu, pengusaha merasa tidak ada kepastian terhadap regulasi tentang bisnis per timahan di Indonesia.
“Itu tentu membuat iklim usaha jadi bergoyang-goyang, tidak ada kepastian, yang bagaimana kita mau berusaha ke depan, padahal kita sudah investasi dengan cukup banyak, nggak sedikit,” katanya. (Ant)